Jadi IRT ?
Sore ini, saya coba mengumpulkan kembali semangat untuk menulis.
Entah berapa lama tidak melakukan hal yang menyenangkan ini. Sampai saya lupa, bagaimana caranya merangkai kata-kata .
Baiklah, mulai saja.. saya coba untuk tak pedulikan kaidah, hanya ingin menuangkan apa-apa yang ada di kepala. Ah tidak. Bukan
kepala.. tapi hatii.. yaa,, saya coba tuangkan apa-apa yang ada di dalam sini..
Beberapa hari belakangan ini, ada sesuatu yang luar biasa
gejolaknya di dalam sini (baca:hati). Beberapa kali hati ini terpanggil untuk
memenuhi kewajiban seorang istri seutuhnya - ya.. SEPENUHNYA, bukan paruh
waktu.
Saya sarjana. Saya memilih tetap bekerja, terkadang bukan
sekedar alasan “uang”, tapi ada rasa ingin unjuk prestasi dan eksistensi.
Sebetulnya, ada rasa bersalah yang teramat, ketika saya
menjalani ini. Tapi.. apa yang dapat saya lakukan jika hanya di rumah saja?
Mungkin, jika anak kami sudah lahir, tidak sulit untuk menjawabnya.
Ibu Rumah Tangga. Berulang kali saya memikirkan hal ini,
keputusan ini bukan saya buat satu, dua hari.. tapi berbulan, bahkan nyaris
menahun. Ditengah tantangan pekerjaan dengan banyak peluang untuk bersaing dan
berprestasi di dalamnya, saya bahagia? Entahlah, justru saya merasa ada yang
hilang. Beberapa kali saya lupa waktu, sampai pulang jauh melebihi waktu
biasanya. Bahkan di rumah saya suka menyusun, memrogram, merencana, membuat
daftar strategi yang akan dilakukan demi pekerjaan saya. Beruntung, saya mempunyai
suami yang sangat luar biasa. Sampai suatu ketika saya tersadar, betapa ia sangat
memahami saya, tapi mengapa sedikit sekali waktu saya untuk berbalik memahaminya?
Terkadang saya hanya mengeluh, bercerita tentang pekerjaan saja, sampai lupa
bahwa ada kewajiban seorang istri “untuk mendengar suaminya”. Kapan waktu saya
untuk “mendengarnya” jika saya terus yang berbicara?
Lambat laun, saya coba berdamai dengan diri sendiri, dengan
semua keegoisan saya. Kemudian bicara dengan lelakiku. Awalnya, ia hanya
tersenyum. Sampai saya mohon padanya untuk jujur, apa yang dirasakannya selama saya sibuk dengan dunia saya sendiri. Akhirnya, dia mau berbicara. Pelan, dia mulai
mencurahkan semua yang ia rasa selama ini. Saya tertegun, dan beberapa
pernyataannya membuat saya makin merasa bersalah. Ternyata, ia yang iseng, cuek,
suka ngeledek, ahh.. pokoknya dia suka menghibur saya selama ini bisa berbicara
sedemikian dan itu “mak jleb!”.
Sore ini, saya makin yakin dengan keputusan ini. Mungkin
belum hadirnya buah hati di tengah-tengah kami, karena selama ini saya selalu
mengadakan “penawaran yang tak pantas” dengan Rabbku.. Astaghfirullah.. bahkan
beberapa kali saya negosiasi “Ya Allah, saya mau jadi ibu rumah tangga
yang sepenuhnya taat pada suami dan menjaga anak-anak kelak, tapi selama aku
belum hamil, aku tetap akan bekerja” atau “Yaudah deh, aku mau jadi istri full
time… tapi nanti kalau aku sudah hamil” dan seterusnya dengan kalimat berbeda
tapi maksud yang serupa. Astaghfirullah, lambat laun saya sadar, bukankah
mengabdi pada suami itu kewajiban yang memang harus dilakukan seorang istri dan
tanpa syarat ya? (*kasus setiap rumah tangga akan berbeda, dan ini yang terjadi
pada keluarga saya). Saya sempat berdiskusi tentang ini dengan sahabat saya,
kemudian dia bilang “kalau suami sudah mampu memenuhi seluruh kebutuhan istri,
maka istripun harus berusaha untuk mampu memenuhi kebutuhan suami”.
Karena Ridho Allah bersumber dari ridho suami, ini membuat
keputusan saya semakin mantap.
Terakhir, semoga Allah ridho dengan keputusan ini, semoga
saya bisa menjadi istri yang baik untuk suami saya, ibu teladan untuk anak-anak
kelak dan anak yang berbakti bagi orang tua serta mertua.. aamiin..
***
Tulisan ini dibuat Januari 2016
Realisasi : Juli 2017
***
Tulisan ini dibuat Januari 2016
Realisasi : Juli 2017
Komentar
Posting Komentar